Sabtu, 24 September 2011

Animasi dan Komik Jepang


Posted by hafiz on Dec 27, '09 7:03 AM for everyone
Perkembangan industri animasi dan komik Jepang dalam dua dekade terakhir ini menampilkan satu fenomena yang sangat menarik.  Tidak saja karakter-karakter sepertiDoraemon, Nobita, Pikachu, Naruto, Gundam, Candy Candy, Totoro atau Son Goku yang bisa dibilang kini sama terkenalnya dengan karakter-karakter dari animasi Amerika seperti Mickey Mouse, Donald Duck, Bugs Bunny hinggaPopeye si Pelaut, tetapi bahkan komikus dan animator Jepang pun telah mendapat tempat dan dikenal oleh dunia.  Sebut saja nama-nama seperti Katsuhiro Otomo, Akira Toriyama, Yoshiyuki Tomino, Satoshi Kon, Mamoru Oshii, Hideaki Anno, Riyoko Ikeda atau Hayao Miyazakiyang kini terasa familiar.  Kata-kata ‘anime’ dan ‘manga’ juga menjadi hal yang tidak asing lagi di telinga kita.

Fenomena menarik lainnya dalam konteks animasi dan komik di Jepang adalah hubungan yang erat antara kedua media yang berbeda jenis namun masih bersaudara ini.  Banyak animasi Jepang yang dibuatkan berdasarkan cerita-cerita komik yang terkenal lebih dulu, meskipun belakangan ini mulai juga terjadi hal-hal sebaliknya.  Perkembangan dunia game digital, merchandise dan media pendukung lainnya pun makin membuat fenomena ini menjadi semakin menjadi-jadi.  Bisa dibilang, baik komik dan animasi Jepang memiliki kesamaan dalam perkembangan budaya Jepang yang mengunggulkan aspek visual lebih dari bangsa-bangsa Barat dan Amerika Serikat.  Budaya piktosentris dari masyarakat Jepang yang telah dimulai dari zaman Edo (1600-1868) dalam bentuk buku ilustrasi bergambar yang dikenal sebagai kibyoshi dan seni cukil kayu (ukiyo-e) menjadi landasan yang kuat bagi perkembangan animasi dan komik di Jepang.

Melongok Perkembangan Industri Animasi dan Komik Jepang
Menilik bagaimana animasi mulai dikenal oleh masyarakat Jepang dan kemudian perlahan-lahan mulai menggurita dan menjadi satu fenomena budaya visual yang begitu hebat bagaikan memberikan sebuah pelajaran berharga bagaimana kolaborasi antara semangat lokal dan pengaruh global menjadi satu elemen penting.  Animasi sendiri bagi bangsa Jepang sebenarnya merupakan barang ‘impor’ karena tradisi cerita bergambar di Jepang belum mengenal gambar yang bergerak meskipun cara bercerita menggunakan gambar dan sekuen sendiri sudah lama dikenal, melalui kamishibai atau theater kertas.  Masyarakat Jepang mengenal animasi sekitar tahun 1910-an saat beberapa film animasi produksi Amerika Serikat dan Perancis diputar di Jepang.  Kemampuan menghadirkan unsur gerakan dalam suatu cerita begitu memukau beberapa sineas muda Jepang dan dalam tempo yang relatif singkat mampu belajar dan memproduksi film animasi mereka sendiri di tahun 1917.

Perkembangan industri animasi Jepang juga tidak lepas dari beragam upaya yang dilakukan untuk bisa bertahan hidup.  Dalam perkembangannya, industri animasi Jepang beberapa kali menemui cobaan yang cukup dahsyat dan sekaligus membuktikan semangat yang tinggi mampu menjadikan para sineas dan animator Jepang menjadi hebat seperti saat ini. 

Beberapa bencana alam besar seperti gempa dahsyat Kanto (1923) yang meluluh lantakkan kota Tokyo, situasi perang yang kerap dijalani masyarakat Jepang ternyata tidak mampu menahan perkembangan industri animasi Jepang.  Partisipasi Jepang dalam Perang Dunia 2 misalnya, justru membuat industri animasi menjadi semakin kokoh karena Angkatan Laut Kerajaan Jepang secara resmi memberikan dukungan finansial hingga kebebasan mengikuti wajib militer bagi para animator untuk bisa memproduksi film-film animasi bernuansa perang untuk membangkitkan semangat serta rasa cinta dan bela Negara.

Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia 2  serta kondisi sulit pasca perang juga tidak menyurutkan ambisi dan semangat para animator ini.  Di tahun 1951, Toei Animation Company akhirnya berhasil didirikan dan kelak akan berkembang menjadi studio animasi terkemuka di Jepang.  Mengadopsi prinsip menjadi ‘Disney di Wilayah Timur’, film-film animasi pertama Toei ini banyak mengikuti formula dari Disney: mengadaptasi kisah-kisah klasik yang diberi bumbu magis dan fantasi, serta hewan-hewan lucu sebagai pendamping tokoh-tokoh manusia.

Perkembangan industri animasi Jepang juga tidak lepas dari satu figure yang sangat influensional: Ozamu Tezuka.  Setelah merevolusi dunia komik Jepang, Tezuka berpindah ke industri animasi dengan mendirikan Mushi Production di tahun 1962, disusul Tezuka Production di tahun 1971.  Terinspirasi oleh animasi-animasi produksi Walt Disney dan Fleischer bersaudara, Tezuka juga mendorong ruang gerak animasi Jepang ke wilayah yang lebih luas dengan menunjukkan bahwa medium animasi tidak semata-mata ditujukan bagi penonton kanak-kanak belaka.   Film-film animasi eksperimentalnya seperti Jumping, The Broken Down Film serta Legend of the Forrest merupakan bukti eksplorasi Tezuka.

Arah baru yang dicanangkan Tezuka ini makin menguat di tahun 1980an.  Untuk mengantisipasi persaingan di area animasi serial untuk televisi dan sinema, beberapa studio animasi mulai mempelopori animasi yang khusus diciptakan untuk dipasarkan melalui format video yang kemudian dikenal sebagai OVA (Original Video for Animation).  Uniknya, ada beberapa serial animasi TV yang gagal saat penayangan di televisi yang justru menjadi booming setelah dibuat versi OVA-nya.  Era 1980-an ini juga mulai menjadi saksi perkembangan tema animasi Jepang yang merambah hingga fiksi ilmiah, robot raksasa (seperti Voltus V, Mazinger Z, Gundam franchise), cerita dengan tema dewasa (yang berbeda dengan animasi khusus penonton dewasa) hingga komedi.  Hayao Miyazaki dengan Studio Ghibli-nya juga mulai diperhitungkan sebagai salah satu figur berpengaruh dan membuktikannya dengan pencapaian anugrah Oscar untuk Spirited Away di tahun 2002.

Perkembangan terkini dari industri animasi Jepang tidak hanya melihat sebuah evolusi yang berhasil beradaptasi dengan teknologi digital tetapi juga menunjukkan kuatnya pengaruh animasi Jepang di kancah perfilman animasi dunia.  Fenomena Pokemon yang mendunia, antologiAnimatrix dimana tujuh sutradara kenamaan Jepang berkolaborasi membuat segmen animasi pendek sebagai proyek sampingan dari trilogi The Matrix, dirilisnya Final Fantasy: The Spirit Withinyang menampilkan aktor dan aktris yang 100% digital merupakan sedikit dari pencapaian eksplorasi dunia animasi di Jepang.

Hal lain yang juga menarik dalam perkembangan industri animasi di Jepang adalah kontribusi yang konsisten dari studio-studio animasi kecil serta animator-animator independen yang mampu menghasilkan film-film animasi berkualitas dengan sumber daya manusia yang sedikit.  Salah satunya adalah Makoto Shinkai, yang kini kerap dianggap sebagai penerus Hayao Miyazaki.  Makoto Shinkai seolah-olah berhasil membalikkan mitos bahwa animasi haruslah dikerjakan menggunakan tenaga kerja yang berlimpah.  Karya fenomenalnya, ‘The Voices of a Distant Star’, dikerjakan secara sendirian dan dia hanya dibantu oleh seorang kawan untuk penggarapan musik tema serta kekasihnya sebagai pengisi suara salah satu karakter utamanya.  Film terbarunya di tahun 2008, ‘5cm per second’ makin membuktikan kepiawaian Makoto Shinkai dalam memproduksi animasi berkualitas dengan tenaga kerja yang irit. 

Lalu bagaimana dengan perkembangan industri komik yang lebih dikenal sebagai manga?  Bisa dibilang perkembangan komik Jepang yang begitu fenomenal tidak terlepas dari satu figur utama yang sama seperti dalam perkembangan animasinya yaitu Ozamu Tezuka.  Mendapat julukan sebagai ‘Tuhannya Komik Jepang’, Tezuka juga merevolusi industri komik Jepang dengan mengintegrasikan pendekatan film dan sinema ke dalam media komik, selain secara tidak langsung mendorong berkembangnya genre komik wanita (shoujo manga). 

Uniknya, ciri khas karakter Jepang dengan mata yang besar justru terinspirasi dari karakter-karakter Amerika, khususnya Felix the Cat, Mickey Mouse dan Betty Boop.  Tezuka mengadaptasi mata besar tadi karena berpendapat bahwa mata adalah salah satu pusat perhatian serta cara memperlihatkan ekspresi manusia secara efektif, dan metode ini tampaknya berhasil sehingga kemudian seakan-akan menjadi pakem dalam visualisasi karakter dalam animasi dan komik di Jepang.

Perkembangan menarik lainnya dalam industri komik Jepang adalah bentuk penerbitan komiknya yang khas.   Komik-komik Jepang biasanya terbit dalam bentuk majalah komik kompilasi terlebih dahulu sebelum kemudian keluar dalam format buku yang disebut sebagai takyubon atau bunkobon.  Majalah komik kompilasi ini biasanya dicetak di atas kertas daur ulang dan dijual dengan harga murah.  Setiap komik biasanya terdiri dari sekitar 12-32 halaman hitam putih saja. Format penerbitan seperti ini ternyata merupakan satu upaya dari industri komik Jepang untuk bersaing dengan media hiburan lainnya, khususnya serial televisi.  Untuk mengejar keingintahuan pembacanya, maka cerita secara rutin terbit seminggu sekali. Pembaca hanya butuh mengetahui jalan ceritanya saja dan tidak terlalu peduli pada kualitas cetakannya, sehingga seringkali majalah komik kompilasi ini akan ditinggalkan begitu saja di tempat-tempat umum.  Untuk memuaskan keinginan pembaca yang ingin mengkoleksi cerita komik tadi, maka setiap beberapa bulan, maka diterbitkanlah dalam bentuk buku komik dengan kualitas cetakan yang bagus dan harga yang lumayan mahal.  Format yang unik dalam bentuk majalah komik kompilasi ini bahkan disebut-sebut memiliki keunggulan karena satu cerita dapat dibaca habis antara satu stasiun subway ke stasiun subway berikutnya.

Sistem penerbitan yang mingguan seperti ini juga merevolusi sistem kerja para komikusnya.  Berbeda dengan komik-komik Amerika yang menghargai pembagian kerja dan keahlian dari sebuah tim komik, komikus Jepang menganut sistem ‘nyantrik’, dimana seorang komikus yang telah mapan akan merekrut asisten sebagai pembantu pekerjaan membuat komik.  Tetapi meskipun dibantu sekian puluh asisten, hanya si komikus utamalah yang mendapat apresiasi.  Hal yang sama bahkan juga berlaku untuk studio animasi, sehingga di Jepang, nama-nama sutradara seperti Hayao Miyazaki atau Katsuhiro Otomoakan lebih dikenal dibanding  studio tempat mereka bernaung.  Coba bandingkan dengan Pixar atauWalt Disney, dan apakah nama-nama seperti Kirk Wise, Andrew Stanton atau John Lasseter cukup kita kenal?

Kembali pada sistem kerja sebuah studio komik, jadwal penerbitan mingguan seperti ini membuat jadwal kerja setiap studio komik menjadi sangat teratur, mirip kerja kantoran.  Terlebih di industri penerbitan komiknya, peran seorang editor menjadi sangat dominan dalam menentukan kesuksesan sebuah serial komik.  Sehingga rutinitas kerja seorang komikus bisa jadi dimulai dengan hari saat mereka bertemu dengan editor untuk mendiskusikan cerita yang akan digarap, membuat sketsa cerita, asistensi kembali dengan editor, penintaan dan finalisasi visual akhir, pengiriman artwork ke percetakan hingga kapan mereka bisa mendapat hari libur.  Tetapi jika seorang komikus menerima lebih dari satu pekerjaan komik, bisa jadi skedulnya akan kembali berubah.

Satu hal lagi yang terbilang unik dalam kaitannya dengan industri komik dan animasi di Jepang adalah bentuk produk-produk komik dari artis amatir yang dikenal sebagai doujinshi.  Doujinshi umumnya merupakan komik-komik parodi dengan mengambil tokoh utama dari karakter-karakter komik dan animasi yang telah lebih dulu terkenal.  Dan cara memparodikannya pun sedemikian bebas, sehingga bisa jadi komik doujinshi ini akan memiliki tema dan cerita yang berbeda jauh dari versi orisinilnya.  Uniknya adalah meski di Negara lain pendekatan parodi seperti ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta, di Jepang justru komikus atau animator dari karakter orisinalnya malah justru bangga jika banyak doujinshi yang terbit dengan menampilkan karakter mereka tadi.  Alasannya karena hal itu berarti karakter mereka sangat popular.  Bahkan ada event khusus untuk doujinshi yang diadakan setiap tahunnya di Tokyo Big Sight, bernama Comiket (comic market) dan itu bisa dihadiri oleh ribuan orang selama tiga hari penyelenggaraannya.

Kolaborasi antara Muatan Lokal dengan Pengaruh Global
Salah satu hal yang membuat animasi dan komik Jepang begitu digilai oleh masyarakat dunia adalah terutama dari visualisasinya yang sangat khas dan dianggap berbeda dengan visualisasi dari Eropa dan Amerika Serikat.  Gaya visual ini kemudian banyak dikenal sebagai gaya ‘manga’ atau ‘anime’.  Di Indonesia sendiri, pengaruh gaya visual manga ini sempat begitu dominan hingga pernah menjadi satu topik bahasan dalam event Komikasia 2003 di Bandung.

Dalam bukunya, Anime: From Akira to Princess Mononoke (Palgrave Press, 2001), Susan Napier menyimpulkan ada tiga tema yang menyebabkan tampilan dan cerita yang khas dalam animasi-animasi Jepang: temaapokaliptik, tema festival dan tema elegi.  Tema apokaliptik mengacu pada tema-tema berlatar belakang akhir dunia atau kiamat seperti yang muncul sebagai tema sentral dalam Akira (Katsuhiro Otomo, 1988), Appleseed(Shinji Aramaki, berdasarkan komik karya Masamune Shirow, 2004) atauNausicaa of the Valley of the Wind (1984).   Belakangan nuansa tema apokaliptik ini juga menjadi representasi dari kondisi sosial masyarakat Jepang seperti perbedaan antar generasi dan gender, serta antara masyarakat kota (urban) dan pedesaan. Kuatnya nuansa apokaliptik dalam film-film animasi Jepang bisa jadi disebabkan pengalaman bangsa Jepang sebagai satu-satunya bangsa yang pernah mengalami sendiri neraka ledakan bom atom dan mimpi buruk yang menyertainya. 

Tema festival membawa satu nuansa kegilaan yang lepas dan ekspresi yang berlebih-lebihan baik dalam tampilan visual, tema-tema cerita yang tidak biasa, maupun interaksi antar karakter-karakter dalam animasi Jepang.  Kecenderungan ‘kegilaan yang terkendali’ ini muncul karena dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang yang serba teratur, penuh dengan tata krama dan sopan santun, keberadaan festival-festival (seperti festival musim panas) seakan-akan memberikan kesempatan pada pengunjung festival untuk lepas dari rutinitas dan belutan tata krama yang mengikat tadi.

Sedangkan tema elegi bersumber dari ungkapan melankolis dan mood yang murung yang kerap muncul dalam puisi-puisi Jepang masa lalu yang kemudian muncul dalam animasi-animasi Jepang melalui adegan-adegan senada dan ekspresi yang disampaikan melalui kedekatan dengan alam sekitarnya.  Proses-proses kecil dan sederhana di alam yang sering terlewatkan oleh observasi manusia mampu ditangkap dan ditampilkan sendiri untuk menguatkan kesan keberadaan penonton yang menyatu dengan dunia tempat kisah tadi dibangun.  Misalnya adegan batu kering yang perlahan-lahan menjadi basah saat terkena tetesan air hujan yang jatuh perlahan-lahan.   Apalagi perubahan sekecil apapun dari alam selalu dimaknai lebih oleh masyarakatnya.

Kolaborasi yang erat antara nilai-nilai dan semangat lokal yang dimiliki bangsa Jepang inilah yang kemudian sukses dikombinasikan dengan pengaruh dari luar, menghasilkan satu sinergi yang matang dan solid, beda dengan apa yang sudah ada sebelumnya.  Hal inilah yang kemudian menjadi satu kekuatan sendiri yang akhirnya mampu menaklukkan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar